Terobosan Baru, Budidaya Udang Vaname Bisa Dilakukan Skala Rumah Tangga

Kini, tak hanya petambak bermodal besar yang bisa membangun usaha budidaya udang vaname. Budidaya udang vaname saat ini bisa dilakukan skala rumah tangga. Modal dan luas lahan minimal bukan lagi kendala.

Subur Online – Menyusul keberhasilan pengelolaan tambak skala rumah tangga di pesisir kawasan Bangkalan, Madura, PT Central Proteinaprima Tbk dengan Rumah Tangga Vannamei-nya (RtVe) menyiapkan diri untuk pengembangan program serupa di wilayah Lampung.

Hal tersebut dibenarkan oleh GM Technical Partner Kampung Vannamei Surabaya, Nonot Tri Waluyo. Setelah dinilai berhasil mendorong pengembangan budidaya tambak udang skala rumah tangga di Madura, Jawa Timur, pihaknya berencana mengembangkan model budidaya serupa di Lampung. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat kami dapat mengembangkan budidaya udang vaname di Lampung,” ujarnya.

Rencana tersebut diamini Yulian Mohammad Riza, Corporate Communication PT CP Prima Tbk. Berdasarkan hasil peninjauan dan pengecekan tim di sejumlah lokasi di pesisir Lampung Selatan, budidaya udang vaname skala rumah tangga diperkirakan cocok jika diterapkan di daerah ini. “Kami sedang merancang untuk mengaplikasikan keberhasilan budidaya udang vaname skala rumah tangga dari pengembangan budidaya Kampung Vannamei sebelumnya,” kata Riza pula.

Bukan tanpa awalan, program Rumah Tangga Vannamei (RtVe) ini didahului suksesnya program Kampung Vannamei (KaVe). Menurut Nonot Tri Waluyo, Kampung Vannamei merupakan program revitalisasi tambak rakyat yang mangkrak (idle), yang selama ini tidak aktif. Melalui budidaya udang vannamei tradisional plus semiintensif dalam satu kawasan, budidaya berwawasan lingkungan ini dilakukan dengan pola pembinaan kelompok.

Bukan tanpa alasan, pemilihan udang vaname sebagai komoditas budidaya memang layak dipertimbangkan. Di tempat terpisah, Sujanto, Kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Pesawaran pada 9/11/2011 mengungkapkan dalam medanbisnisdaily.com, “Udang vaname merupakan solusi alternatif dalam memperkaya dan menambah produksi budidaya udang, sebagai salah satu penunjang pengembangan kawasan minapolitan di daerah ini.”

Menurutnya, kelebihan jenis udang itu lebih resisten terhadap penyakit dan kualitas lingkungan yang rendah, sedangkan padat tebarnya cukup tinggi. “Ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai indikasi keberhasilan dalam budidaya udang vaname yaitu, besarnya nilai Average Daily Growth (ADG) atau pertumbuhan rata-rata harian (gram/hari) dan Feed Convertion Ratio (FCR) atau perbandingan konsumsi pakan terhadap peningkatan berat badan,” terang Sujanto.

Tentunya, dengan ADG tinggi dan FCR rendah, diharapkan memperoleh keuntungan yang tinggi. “Bila dibandingkan dengan jenis udang lainnya, udang vaname memiliki karakteristik spesifik seperti adaptasi tinggi terhadap lingkungan suhu rendah, perubahan salinitas (khususnya pada salinitas tinggi), laju pertumbuhan yang relatif cepat pada bulan pertama dan kedua bahkan kelangsungan hidupnya tinggi,” ujar Kepala DKP Pesawaran itu.

Dengan keunggulan-keunggulan yang dimiliki tersebut, jenis udang itu sangat potensi dan prospektif untuk terus dikembangkan dan dibudidayakan oleh para pembudidaya udang. “Budidayanya yang tergolong mudah serta sangat toleran terhadap kepadatan yang tinggi, serta membutuhkan biaya pakan yang relatif lebih murah menjadi salah satu daya tarik pengembangan usaha itu,” terangnya.

Dari “kampung” hingga “rumah tangga”
Keberhasilan Kampung Vannamei yang dimulai 2002 itu, saat ini dimodifikasi kembali dalam pengembangan rumah tangga Vannamei dalam skala rumah tangga.

Pada Kampung Vannamei (KaVe), budidaya udang vaname biasanya dilakukan dalam areal tambak yang cukup luas dengan modal ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah. Sehingga kemampuannya berkisar pada petambak yang mampu mengembangkannya. Namun dengan pola Rumah Tangga Vannamei (RtVe), peluang usaha budidaya udang vannamei dapat dilakukan oleh petambak skala petakan kecil, yang hanya memiliki lahan ratusan meter persegi. Namun, tetap diarahkan untuk membentuk kelompok dalam satu lingkungan tertentu.

“Hasilnya lumayan bagus, sehingga saat ini banyak warga kembali merevitalisasi tambak yang mangkrak itu maupun mengembangkan areal tambak baru untuk budidaya udang vaname,” kata Nonot lagi.

Intensif tetap untung
Budidaya intensif identik dengan padat modal dan teknologi. Artinya, dibutuhkan biaya dan upaya ekstra lainnya. Namun, dengan pola kemitraan yang baik, semua pihak bisa diuntungkan.
Contohnya warga di sejumlah desa Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Kini mereka semakin bersemangat mengembangkan tambak udang vaname skala rumah tangganya dengan memanfaatkan tambak mangkrak maupun areal yang sebelumnya kurang produktif dan tidak menghasilkan.

Mochlis, termasuk petambak awal yang mencoba membudidayakan udang vaname dalam skala rumah tangga pada tahun 2012. Sebelumnya, pada era 1990-an, ia membudidayakan udang windu yang menghadapi guncangan dan terpuruk.

“Dulu tahun 90-an, saya pernah membudidayakan udang windu, dan akhirnya berhenti karena menghadapi banyak masalah dan akhirnya hancur,” ujar Mahmud, petambak lainnya.
Menurut pengakuan Mochlis, ia sudah membudidayakan udang vaname dalam periode panen puluhan kali dengan siklus berkisar 100 hari. Hasilnya benar-benar menguntungkan. Dari luas tambak keseluruhan tersebut, dia bisa mendapatkan hasil penjualan udang dengan keuntungan bersih lebih dari Rp 22 juta.

“Sudah belasan periode tebar dan panen saya alami, nyaris tak ada hambatan berarti. Dengan keuntungan saya peroleh cukup besar dengan modal tak terlalu memberatkan,” ujar petambak yang memiliki tiga petakan itu.

Mochlis menyebutkan bahwa tiga petakan tambak udang yang dimilikinya menerapkan budidaya udang vaname tradisional plus dan semi-intensif. Sekali tebar bibit, panen dilakukan tiga kali. Dua kali panen parsial atau sebagian, saat udang berumur 60 dan 75 hari. Selanjutnya, panen keseluruhan dilakukan saat udang berumur 95 hari.

Kini, petak lahan Mochlis telah dikelilingi puluhan hingga belasan petak petambak lain yang mencoba mengikuti jejak keberhasilannya. Mereka sudah mencoba beberapa kali menebar benih udang dan telah merasakan keberhasilan panennya. Mereka pun kian bersemangat untuk terus mengembangkan usaha tambak udang vannamei skala rumah tangga. Lahan mangkrak di sekitar wilayah Bangkalan nyaris habis. Pemilik lahan berupaya mengelola lahan sempit untuk budidaya tambak udang vaname dalam skala lahan terbatas, tetapi dengan sentuhan teknologi budidaya yang relatif sama.

Menurut petambak di kawasan ini, satu meter persegi areal tambak bisa ditebar 100 hingga 200 ekor benih udang vaname. Sementara tingkat kelulusan hidupnya besar, mencapai 80-an persen. Namun, petambak harus 24 jam mengawasi dan memantau perkembangannya. Praktik budidaya intensif pun dipatuhi sesuai SOP yang telah diberikan seperti pemberian pakan, vitamin, obat-obatan, pengecekan kualitas air tambak, serta berbagai perlakuan intensif lainnya. Termasuk memastikan kincir air beroperasi selama 24 jam penuh.

“Budi daya udang vaname skala rumah tangga ini sangat menguntungkan, meskipun harus menerapkan pola budidaya yang intensif dan pengawasan ekstra, agar hasilnya optimal,” pungkas Mochlis.

Panen 2 ton dalam 800 m persegi
Dengan empat kincir berkekuatan 650 watt dan padat tebar 100—200 ekor benih udang per meter persegi, petambak udang vaname di Bangkalan bisa memanen udang hingga 2 ton 6 kuintal di areal petakan tambak seluas 800 m persegi. Petambak bisa mengatur pola panen parsial sebanyak dua atau tiga kali dalam satu periode tebar.

“Tapi harus diingat, budidaya udang vannamei ini jangan sampai takabur ingin menebar sebanyak mungkin benih udang dalam areal tambak yang sempit. Perlu perlakuan khusus dan sentuhan teknologi serta peralatan pendukung yang memadai agar hasilnya tetap optimal karena terhindar dari risiko penyakit dan kegagalan yang tinggi,” terang Nonot Tri Waluyo.

Dalam satu kelompok, petambak biasanya mengelola enam petak tambak dengan luas masing-masing ratusan meter persegi. Beberapa petambak mengaku memerlukan modal sekitar Rp75 jutaan dengan biaya sewa lahan Rp 2 juta per tahun untuk lahan tambak 2.000 meter persegi atau lahan milik sendiri.

Untuk pemasaran, para petambak tidak merasa susah menjualnya karena pembeli datang sendiri. Keuntungan yang diperoleh tergantung size udang yang dihasilkan. Biaya operasional yang dikeluarkan berkisar Rp 38 juta untuk pakan per petak. Dengan listrik dan biaya lain secara total Rp 60 jutaan. Adapun penjualan untuk size 44 dihargai Rp79 ribu per kg, size 50 dihargai Rp 80.000—Rp 83 ribu, size 40 Rp 90 ribu—Rp 93 ribu, dan size 100 dihargai Rp55 ribu/kg.

“Kini lahan mangkrak sudah habis, tinggal sedikit yang dibiarkan tak dikelola. Karena itu, kami mendorong warga dapat mengelola lahan sempit yang dimiliki untuk budidaya udang vaname skala rumah tangga, dengan teknologi budidaya yang sama dan hasil tetap menguntungkan. Dengan RtVe, budidaya udang akan lebih efisien, lebih efektif dan lebih produktif” tandas Nonot. (Rch)

Komentar