BBPB Lampung berhasil kembangkan budidaya udang vaname dengan media air laut. Dalam petak ukuran 3 x 3 meter, udang yang dihasilkan mencapai 30 kilogram.
Subur Online – Selain Balai Besar Perikanan Budidaya
Laut (BBPBL) Lampung, dinas terkait yang juga telah melakukan panen
perdana budidaya udang vaname di KJA laut adalah Balai Perikanan
Budidaya Laut (BPBL) Ambon.
“Kenapa di laut, karena kita ingin memanfaatkan seluruh potensi
sumber daya. Kita ingin menerapkan maricultur yang tidak hanya terbatas
dengan rumput laut dan ikan-ikan saja. Tapi juga yang bisa dibudidayakan
di laut dan mendatangkan manfaat ekonomi,” ujar Direktur Jenderal
Perikanan Budidaya Slamet Soebjakto dalam neraca.com.
Menurutnya, permintaan udang yang belum bisa dipenuhi mencapai 500
ribu ton. Dengan metode baru ini, ia berharap budidaya udang vaname di
laut bisa dimanfaatkan dengan baik oleh seluruh masyarakat. “Bayangkan
saja, dengan luas kolam 3 x 3 meter saja sudah dapat menghasilkan udang
sebanyak 65 kilogram. Kalau kita maksimalkan potensi air laut sebesar 1
hektar maka hasilnya adalah 65 ton. Ini terbilang cukup tinggi, terlebih
budidaya udang vaname di laut tidak memperlukan kincir ataupun blower yang biasa digunakan pada air tawar,” ujarnya.
Tetap ekonomis meskipun kematian cukup tinggi
Bicara soal tingkat kematian, Totok, panggilan akrab Dirjen Perikanan
Budidaya KKP, menyatakan bahwa tingkat kematian budidaya udang vaname
di laut cukup tinggi, yaitu di kisaran 20—30%. “Potensi kematian hampir
20—30%. Tapi hal itu tergantikan dengan modal yang diperlukan. Karena
budidaya di laut tidak memerlukan oksigen atau pun kincir. Jadi, cost yang dikeluarkan jauh lebih rendah dibandingkan budidaya udang vaname di air tawar,” tuturnya.
Hal itu diakui oleh Johannes, salah satu pembudidaya udang vaname di
Lampung. Bisa dibilang, ia pembudidaya udang vaname pertama di Lampung
yang memanfaatkan media air laut. “Saya mungkin yang pertama melakukan
itu (budidaya udang di laut). Makanya banyak orang yang mau belajar
budidaya udang vaname kepada saya. Ada juga yang dari luar Lampung
datang ke rumah saya hanya untuk belajar,” katanya.
Bicara soal penghasilan, Johannes mengungkapkan bahwa dengan modal Rp
30 juta, pembudidaya sudah bisa memulai usaha budidaya udang vaname di
laut. Modal itu untuk membeli perlengkapan keramba jaring apung (KJA),
benur dengan jumlah puluhan ribu ekor, dan pakan. Dalam 4 bulan, untung
bersih bisa mencapai dua kali modalnya.
Di sisi lain, Irzal Effendi, Ketua Program Studi Diploma, Program
Keahlian Teknologi Produksi dan Manajemen Perikanan Budidaya, IPB,
memberikan contoh. Jika dibandingkan antara kerapu dan udang dari segi
harga benih, udang sudah jelas lebih menguntungkan. “Biaya produksi
udang relatif lebih rendah. Misal, harga post larvae (PL) 10
pada udang katakanlah sekitar Rp 40—Rp 50 per ekor. Sementara, harga
benih ikan kerapu macan mencapai Rp 2.000 per cm. Jadi, harga benih
udang lebih murah,” tuturnya dalam bisnis.com.
Potensi dan ancaman
Memindahkan budidaya udang vaname ke laut berarti mengurangi tekanan
besar yang berada di darat. Meskipun dari segi waktu pemeliharaan lebih
lama jika dilakukan di KJA. Maklum, di laut semuanya serba alami dan
tidak dapat dimanipulasi seperti di tambak. “Tapi, hal ini bisa
diperbaiki dengan teknologi. Seperti, FCR atau rasio konversi pakan yang
diperoleh dari udang yang saya pelihara, pasti akan membuat
tercengang,” tutur Irzal.
Jika FCR udang pada umumnya berkisar antara 1—1,5; tetapi FCR udang
yang dipelihara Irzal bisa kurang dari 1. “Karena ini di laut, ada
kemungkinan dia memakan pakan alami yang memang sudah tersedia. Dan kita
juga melakukan strategi agar efisiensi pakannya tinggi, yaitu pemberian
substrat untuk tumbuhnya perifiton sebagai substitusi pakan,” jelas
Konsultan Marikultur ini.
Berbeda dengan budidaya dalam tambak yang relatif tertutup, budidaya
di KJA laut memiliki kelemahan dan kelebihan karena terletak pada area
budidaya yang terbuka. Jika budidaya di tambak menghadapi masalah
lingkungan akibat manajemen pakan yang buruk, di laut justru menghadapi
masalah cara pemberian pakan agar tidak banyak terbuang. “Inilah
perbedaan antara situasi di laut dan di tambak. Di laut ‘kan lebih dinamis sehingga akan lebih banyak menghadapi masalah dalam manajemen pemberian pakan. Makanya, saya menggunakan metode feeding tray supaya pakannya nggak masuk ke dalam laut,” ucap Irzal.
Feeding tray yang digunakan sebagai wadah pakan bisa beragam
bentuk, salah satunya anco. Dengan ukuran mesh yang lebih kecil dari
ukuran pakan menghindari terbuangnya pakan ke laut. Selain itu,
bentuknya yang cembung menjadi penghalang terbawanya pakan ke arah
samping. Udang pun bisa lebih tenang saat mengonsumsi pakan tanpa harus
terus berenang-renang.
Masalah yang tak kalah penting untuk diantisipasi adalah hama udang,
baik berupa ikan pemakan krustasea, burung, atau pun biawak.
Menurut pengalaman Johannes, ikan dan biawak menjadi ancaman udang
yang ia pelihara dalam KJA. “Pada saat ingin panen pertama, harusnya
saya dapat 1 ton, akan tetapi sebagian udang dimakan oleh biawak
menjelang panen. Makanya faktor keamanan perlu dijaga dari hewan
pemangsa. Salah satunya dengan menutup keramba dengan jaring yang kuat,”
akunya.
Pengganti kerapu
Tak hanya dikembangkan sebagai komoditas marikultur baru, budidaya
udang vaname di laut juga bisa dimanfaatkan untuk mengganti budidaya
komoditas marikultur yang sedang lesu. Seperti halnya permintaan kerapu
yang akhir-akhir ini sedang lemah. Salah satu penyebabnya adalah adanya
kebijakan di Tiongkok untuk mengurangi konsumsi ikan mahal.
“Kerapu ini
termasuk ikan yang mahal juga, seperti kerapu tikus, sehingga mereka
(masyarakat Tiongkok) mengurangi konsumsinya. Akibatnya,
ekspor kerapu menurun. Tapi, kalau kerapu yang masuk ke dalam middle class seperti kerapu macan, kertang, dan cantang masih cukup tinggi permintaannya,” tutur Totok.
Berkurangnya permintaan ikan kerapu membuat KJA menjadi kosong saat
produksi dikurangi. “Lalu, mengapa tidak diisi dengan ikan lain atau pun
udang vanname? Inikan memanfaatkan potensi sumberdaya. Apa saja yang
bisa dibudidaya, ya, kita budidaya. Yang penting bernilai ekonomi.
Misalnya, adalah perbanyak produksi kerapu jenis lain, kakap putih,
bawal bintang, kobia, bahkan udang. Budidaya yang waktu pemeliharaannya
lebih cepat,” saran Totok.
Seperti dilansir dalam bisnis.com, Direktur Produksi DJPB,
Coco Kokarkin, yang hadir mewakili Dirjen Perikanan Budidaya pada acara
panen perdana Demonstration Farm (Demfarm) Budidaya Udang Vaname di KJA
di Desa Paibung, Kec. Padang Cermin, Kab. Pesawaran, Lampung, mengatakan
bahwa budidaya udang vaname di KJA bisa menjadi alternatif komoditas
budidaya laut.
“Di samping kerapu, bawal bintang, dan kakap putih, udang vaname juga
dapat dibudidayakan di KJA laut dengan hasil yang cukup
menggembirakan,” ujar Coco dalam rilisnya, Jumat (4/9). Ingin melebarkan
sayap? Laut nusantara siap dikelola. (Rch)
Komentar
Posting Komentar